Seberapa besar harapan, rintangan, dan kerja keras generasi sandwich untuk memiliki rumah pada usia muda? Yuk, baca ulasan lengkapnya lewat artikel berikut ini!
“Masyarakat akan makin sulit untuk bisa membeli atau can’t afford to buy a house.”
Rangkaian kata-kata tersebut keluar dari mulut Menteri Keuangan, Sri Mulyani dalam acara Road to G20: Securitization Summit 2022, di Jakarta, Rabu (13/7/2022).
Pernyataan itu pun lantas memantik keriuhan di sana-sini, terlebih di media sosial.
Tentu saja apa yang dikatakan Sri Mulyani bukan tanpa alasan. Lulusan Universitas Indonesia dan University Illinois, Amerika Serikat, itu mengungkapkan bahwa peningkatan inflasi global bisa membuat masyarakat kesulitan mempunyai hunian lantaran bank sentral akan menaikkan suku bunga dan memicu kenaikan biaya kredit.
Sekilas, apa yang diutarakan Sri Mulyani menawarkan pesimisme bagi sejumlah kalangan untuk memiliki rumah. Namun, jika ditelaah lebih jauh, uraian Sri Mulyani cukup realistis.
Pasalnya, membeli rumah di tengah situasi seperti sekarang dirasa sangat sulit, terlebih bagi mereka yang harus membiayai diri sendiri, keluarga dan anak, hingga orang tuanya atau yang dikenal dengan sandwich generation alias generasi sandwich.
Apa Itu Generasi Sandwich?
Istilah sandwich generation atau generasi sandwich pertama kali diperkenalkan oleh Dorothy A. Miller, seorang profesor dan direktur praktikum di University of Kentucky, dalam jurnalnya yang berjudul The ‘Sandwich’ Generation: Adult Children of the Aging.
Gambaran generasi sandwich dalam jurnal tersebut adalah sekelompok orang dewasa yang memiliki peran ganda dan mereka bertanggung jawab terhadap beban hidup generasi atas (orang tua) dan generasi di bawahnya (keluarga dan anak).
Kondisi inilah yang dianalogikan sebagai sandwich (roti lapis) yang umumnya berisi daging, sayuran, keju, lalu diapit oleh roti di bagian atas dan bawah.
Sementara itu, Benjamin Schlesinger & Dennis Raphael dalam jurnalnya berjudul The Woman in the Middle: The Sandwich Generation Revised (1993), menuturkan bahwa keberadaan status generasi sandwich tidak terlepas dari adanya kewajiban menjaga keluarga di luar keluarga inti.
Mengingat tingginya beban dari generasi sandwich tersebut, tak heran apabila upaya untuk mempunyai hunian pada usia muda terlampau sulit, meski tentu saja masih ada secercah harapan yang menguar.
Survei Pew Research Center pada 2013 mencatat hampir 47 persen orang berusia 40 sampai 50 tahun mempunyai orang tua berusia 65 tahun atau lebih dan di saat bersamaan mereka sedang membesarkan anak berusia 18 tahun atau lebih.
Selain itu, 15 persen di antaranya harus menanggung kebutuhan finansial keduanya: orang tua dan anak.
Sementara di Indonesia, kendati belum ada data pasti tentang generasi sandwich, tetapi gambaran secara umum bisa diambil dari data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Statistik Penduduk Lanjut Usia 2021.
Dari data persentase rumah tangga lansia menurut sumber pembiayaan terbesar, terdapat beberapa poin menarik sebagai berikut:
- 79,44 persen ditopang oleh anggota rumah tangga (ART) yang bekerja
- 14,48 persen berasal dari kiriman uang atau barang
- 0,60 persen berasal dari investasi
- 5,48 persen berasal dari dana pensiunan
Jika melihat data di atas, lebih dari separuh orang tua (79,44 persen) dibiayai oleh anggota rumah tangga yang bekerja, dan hal ini bisa jadi berasal dari anak yang telah berkeluarga dan termasuk ke dalam golongan kelompok generasi sandwich.
Sebagai informasi, persentase tersebut mengalami kenaikan dari data tahun 2017 yang hanya menyentuh 77,82 persen.
Sementara, di sisi lain, dilihat dari persentase lansia menurut status tinggal bersama, sebagian besar lanjut usia tinggal bersama tiga generasi.
Berikut data yang dihimpun melalui bps.go.id.
- 34,71 persen dari penduduk lansia tinggal bersama tiga generasi
- 29,66 persen warga lansia tinggal bersama keluarga
- 22,78 persen lansia tinggal bersama pasangan
- 9,99 persen lansia tinggal sendirian
- 2,85 persen memiliki alasan lain
Dengan demikian, dari data yang disajikan BPS, paling tidak bisa didapatkan gambaran mengenai banyaknya generasi sandwich di Indonesia.
Generasi Sandwich dan Upaya Memiliki Rumah
Dialog Dini Hari, grup musik yang digawangi oleh Dadang SH Pranoto, Brozio Orah, serta Deny Surya menggambarkan rumah sebagai tempat terbaik untuk bercerita perihal apa pun.
Tentang rumahku
Di ujung bukit karang yang berbatu
Beranda rumahku
Tumbuh-tumbuhan liar tak tahu malu
Tentang rumahku
Berbagai macam musim telah kurengkuh
Jadi saksi bisu
Cerita mimpi indah di masa lalu
Lirik lagu dari Dialog Dini Hari di atas bisa ditafsirkan sebagai gambaran rumah idaman banyak orang, meski pada kenyataannya jauh panggang dari api.
Terkait hal ini, Irfan Noormansyah, seorang karyawan swasta di Bandung yang termasuk ke dalam golongan generasi sandwich, membeberkan kisahnya.
Ia mengatakan bahwa sangat banyak pertimbangan yang membuatnya belum berani membeli rumah, terutama kaitannya dengan anggaran.
“Jelas, karena belum ada uangnya. Mungkin bisa beli dengan down payment (DP) yang murah-murah, tapi langkah mengambil Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dengan tenor puluhan tahun juga bukan hal yang menyenangkan,” kata pria berusia 34 tahun itu kepada Berita 99.co Indonesia, Rabu (3/8/2022).
“Kredit motor tiga tahun saja sudah cukup bikin lelah, apalagi dua puluh tahun membayar cicilan dengan besaran setengah penghasilan. Prinsipnya, lebih baik kerja mati-matian menabung dan kerja membuka peluang pemasukan baru ketimbang kerja mati-matian untuk membayar utang,” paparnya.
Akan tetapi, Arfin, begitu ia kerap disapa, tidak serta-merta menyerah pada keadaan. Api harapan untuk memiliki rumah masih terus menyala hingga kini. Bahkan, ia menjelaskan bahwa kemungkinan untuk mempunyai rumah yang akan ditempatinya bersama keluarga kelak terbuka cukup lebar.
“(Harapan punya rumah) sangat besar. Namun, yang jadi PR sebenarnya adalah sabar karena jalannya cukup panjang dan berjenjang. Hitungan di atas kertas sudah jelas, bisa, tapi memang bukan dalam hitungan satu atau dua tahun,” tambahnya.
Sabar yang dimaksud Arfin boleh jadi bermakna lebih luas.
Terlebih ia kudu menyeimbangkan segalanya, mulai dari mencukupi kebutuhan hari ini tanpa melepas impian masa depan, produktif menghasilkan dan aktif menyisihkan waktu, sampai dengan menjaga kewarasan.
Arfin mengatakan bahwa menjadi seorang generasi sandwich tak jarang membuatnya stres dan menghabiskan energi lebih.
“Sudah kerja keras, tapi kok banyak yang harus dikejar,” keluhnya.
Sebagai solusi jangka pendek, Arfin dan keluarga pun memutuskan untuk mengontrak rumah alih-alih tinggal di rumah mertua. Keputusannya beralasan lantaran tempat tinggal orang tuanya berupa hunian keluarga besar yang diisi oleh beberapa kepala keluarga.
Apalagi, dengan mengontrak rumah, setidaknya ia dapat menjaga otoritas rumah tangganya sendiri. Jadi, meskipun kontrakan kecil, tetapi lebih leluasa dan privasi pun terjaga.
Bersiasat demi Punya Rumah Impian
Tak melulu soal tekad yang kuat, generasi sandwich idealnya mempunyai perencanaan matang terutama jika berkaitan dengan keuangan guna mewujudkan rumah impian pada usia muda.
Ini pula yang disadari Arfin sehingga ia mulai bersiasat dan menghitung rentang rerata kenaikan harga properti per tahun, yang dilanjutkan menetapkan range harga rumah dalam durasi beberapa tahun ke depan.
“Dari situlah kemudian saya breakdown DP rumah (sekitar 50-70 persen) menjadi target penghasilan yang harus dicapai, lalu kemudian diturunkan menjadi usaha apa saja yang mesti dilakukan, termasuk dalam target karier, networking, dan bisnis.”
Aral melintang yang dialami Arfin barang tentu sering terjadi di tengah perjalanan memiliki rumah.
Arfin menilai dalam proses menabung, ada saja kebutuhan mendesak yang membuatnya mesti menunda pertumbuhan pundi-pundi keuangan.
Ia secara gamblang menyebutkan jika manusia memang hanya bisa berencana. Maka dari itu, ia yakin tak hanya ilmu mencari uang yang mesti dikembangkan, melainkan perasaan sabar dan ikhlas yang juga mesti diinvestasikan dalam diri.
Namun, sebagaimana penuturannya, ketika ditanya seberapa besar harapan generasi sandwich, termasuk dirinya untuk memiliki rumah, ia menjawab dengan tegas bahwa asa itu masih ada.
Punya Rumah bagi Generasi Sandwich Bukan Hal Mustahil
Berbeda dengan Arfin, Anggraeni Putri Manikam atau yang kerap disapa Monik memiliki cerita yang sedikit bertolak belakang.
Menurutnya, meski termasuk ke dalam golongan generasi sandwich, secara umum ia tak mengalami kesulitan berarti. Terlebih ia sangat meyakini setiap kesulitan selalu ada kemudahan serta sudah terbiasa hidup sederhana dan cenderung tidak mengikuti gaya hidup orang lain.
Kini, kala usianya menginjak 30 tahun, Monik telah memiliki rumah dari pekerjaannya sebagai pegawai BUMN.
Kepada Berita 99.co Indonesia, Monik pun membeberkan sejumlah alasan atas keberhasilannya membeli rumah pada usia muda. Ia menyebut ada beberapa faktor penting kendati di sisi lain mesti menghidupi orang tua.
“Faktor pertama, bagi saya menghidupi orang tua adalah sedekah, dan saya percaya sedekah tidak akan mengurangi rezeki yang kita dapatkan, malah justru melebihkan rezeki, dari jalan mana pun, secara finansial maupun non finansial.”
“Faktor kedua, rajin menabung. Faktor ketiga, batasi biaya entertainment, cukup 1-2 kali dalam 1 bulan di dalam kota. Faktor keempat, beli barang yang dibutuhkan. Faktor kelima, penerimaan di luar gaji pokok dikhususkan untuk menabung atau diambil 10 persen persen saja untuk self reward,” jelasnya.
Menariknya, rumah yang ia beli justru sempat dikontrakan dan saat ini ditempati oleh saudaranya. Sementara itu, ia kini memilih untuk mengontrak rumah lantaran tempat bekerjanya jauh dari rumah yang ia beli.
Di sisi lain, kemampuan Monik membeli rumah bukan semata-mata karena ia bekerja sebagai pegawai BUMN. Lebih dari itu, ia tergolong lihai dalam perencanaan keuangan.
Monik menggunakan tabungan berencana untuk DP dan menyisihkan gaji bulanan untuk mencicil pembelian rumah. Adapun hunian yang dibelinya adalah rumah second dengan skema pembelian menggunakan akad murabahah atau mencicil pada bank.
Rumah yang dibeli, kata Monik, adalah rumah komersial karena ia mempertimbangkan faktor investasi. Ia memilih rumah di kawasan perkotaan dan dekat perkantoran serta sekolah dengan asumsi nilai pasarnya lebih cepat naik.
Lantas, apa hal yang mesti dipersiapkan generasi sandwich sebelum memutuskan membeli rumah?
Monik menjawab bahwa terdapat beberapa poin penting, di antaranya menyiapkan dengan cara apa akan membeli rumah, apakah KPR, cash, atau bahkan lelang. Lalu, siapkan pula dana untuk DP.
“Disarankan dana DP 20-30 persen dari harga rumah, dan dipersiapkan mencicil dengan waktu singkat,” katanya.
Sebagai generasi sandwich yang telah memiliki rumah pada usia muda, bisa dibilang apa yang menimpa Monik merupakan suatu prestasi tersendiri.
Namun, tentu saja perjuangan Monik tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dalam setiap tindakan sehari-hari, misalnya, banyak pertimbangan yang dilakukan sebelum ia mengambil keputusan, bahkan pada hal-hal kecil.
Ia kini terbiasa memiliki pertimbangan baik-buruk, butuh-ingin, dalam setiap pengambilan keputusan seperti membeli makanan, baju, tas, sepatu, dan lain sebagainya.
Kemudian, dampak lain yang ia rasakan dari seorang generasi sandwich yang berhasil memiliki rumah adalah timbulnya sikap independen.
“Memiliki kemandirian untuk bertahan hidup dan merasakan dampak secara langsung atas keputusan yang diambil dan selalu bersyukur atas rezeki yang didapatkan apa pun keadaannya,” katanya.
Kata Psikolog tentang Generasi Sandwich
Psikolog kelahiran Bandung, Tika Bisono, memiliki pandangan tersendiri perihal generasi sandwich.
Secara umum, media sering menyebut jika generasi sandwich acapkali memengaruhi seseorang, terutama dari sisi mental atau psikologis.
Namun, Tika Bisono mengatakan bahwa generasi sandwich tidak lebih rentan terkena gangguan mental atau psikologis karena beberapa alasan.
“Tiap generasi itu, ‘kan, punya ciri khas, ya, dan tiap generasi itu punya kekuatan dan kerentanannya masing-masing. Jadi, kalau secara identitas generasi itu sebenarnya justru saling memiliki keterikatan,” ucapnya kepada Berita 99.co Indonesia, Senin (8/8/2022).
“Tapi emang bangsa Indonesia, kalau udah dikenai stigma (judul, misalnya) gara-gara judulnya generasi sandwich gitu, seolah-olah terimpit-impit gitu, ya. Kalau aku sih ngeliatnya sandwich itu enak. Jadi nggak ada impit-impitan,” tuturnya.
Ia pun lantas melanjutkan, seseorang yang melihat generasi sandwich dari sudut pandang keterimpitan, maka terimpitlah dia.
Apa yang diutarakan Tika Bisono senada dengan sebuah penelitian berjudul Perbandingan Tingkat Kebahagiaan Antara Generasi Sandwich dan Non-Generasi Sandwich yang dibuat Ferlistya Pratita Rari, Jamalludin, dan Putri Nurokhmah dari Universitas Indonesia.
Penelitian tersebut bertujuan guna mengidentifikasi perbedaan tingkat kebahagiaan antara generasi sandwich dan non-generasi sandwich berdasarkan jumlah anggota keluarga yang ditanggung, waktu luang yang dimiliki, kondisi kesehatan, dan jumlah pendapatan per bulan.
Dari 158 responden survei di 4 provinsi di Indonesia: DKI Jakarta, Aceh, Jawa Barat, dan Jawa Tengah serta 3 informan, ditemukan hasil dan kesimpulan berikut:
- Tidak terdapat perbedaan tingkat kebahagiaan antara generasi sandwich dan non-generasi sandwich.
- Variabel yang berpengaruh langsung terhadap kebahagiaan adalah kesehatan dan pendapatan, sedangkan jumlah tanggungan keluarga dan waktu luang tidak berpengaruh langsung.
- Keberadaan orang tua tidak membuat generasi sandwich terbebani.
Selain itu, temuan menarik lainnya dalam penelitian tersebut adalah bahwa tekanan finansial bukan hal yang dirisaukan generasi sandwich, dan tanggung jawab orang tua tidak dianggap sebagai beban bagi generasi sandwich.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang tua justru membantu pekerjaan generasi sandwich, salah satunya adalah dalam mengurus anak dan melakukan pekerjaan domestik.
Hubungan antara generasi sandwich dengan orang tua pada sampel penelitian (dan berlaku sebaliknya) dipengaruhi oleh budaya yang berlaku di Indonesia, yang mana antara generasi saling membantu dan mendukung.
Tips untuk Generasi Sandwich agar Terhindar dari Stres
Dalam wawancara dengan Berita 99.co Indonesia lewat sambungan telepon, Tika Bisono memberikan beberapa tips bagi para generasi sandwich agar terhindar dari berbagai masalah, terutama stres.
“Jadi gini, kenapa mereka (generasi sandwich) stres? Stres itu sendiri, ‘kan, artinya ketika kita tidak mendapatkan apa yang kita inginkan. Stres itu situasi mental dan emosi ketika tidak menemukan ekspektasi, tidak menemukan apa yang kita mau,” katanya.
Maka, untuk menanggulanginya, Tika menyebut ada tiga tips yang bisa diaplikasikan agar generasi sandwich terhindar dari stres berlebih.
Pertama, mengelola ekspektasi, kedua mengelola emosi, dan yang ketiga mengelola mimpi.
“Ekspektasi ini yang harus dikelola sebenarnya. Jadi untuk menghindari stres dan sebagainya, kelola ekspektasi. Dan yang pasti, dan ini yang tentunya enggak gampang, yaitu mengelola emosi. Kelola juga mimpi. Enggak apa-apa bermimpi punya rumah yang diharapkan,” katanya.
Semua Bisa Beli Rumah, Termasuk Generasi Sandwich
Annisa Insani, seorang financial planner enthusiast sekaligus praktisi keuangan dan pajak UMKM memberikan pandangannya. Annisa menyebut bahwa peluang memiliki rumah terbuka lebar, tidak terkecuali bagi golongan generasi sandwich.
“Sangat mungkin. Memiliki rumah atau tidak memiliki rumah ini, kan, sebenarnya 50:50, baik itu untuk sandwich generation ataupun bukan. Jadi, yang utama, kelola uang itu punya goals atau tujuannya dulu,” paparnya kepada Berita 99.co Indonesia.
Sejumlah tips pun ia beberkan supaya pengelolaan keuangan bisa berlangsung baik dan pada akhirnya memiliki rumah impian bukan sekadar mimpi belaka.
Menurutnya, hal utama yang mesti digalakkan adalah mengurangi gaya hidup konsumtif yang disertai dengan menghemat pengeluaran biaya hidup.
Menimbang-nimbang harga suatu barang antara satu toko dan toko lain atau giat mencari diskon, misalnya, bisa jadi salah satu langkah yang dilakukan untuk menekan pengeluaran. Selanjutnya adalah menentukan seberapa besar uang dari pendapatan yang hendak ditabung untuk membeli rumah.
“Misalnya tujuan beli rumahnya 5 tahun lagi, tentuin harus berapa, sih, nabungnya setiap bulan. Lantas instrumen investasi apa, nih, yang cocok supaya bisa menghasilkan sekian dalam jangka waktu 5 tahun. Idealnya seperti itu,” kata Annisa.
Selain itu, mempunyai pos keuangan juga mesti jadi prioritas agar tabungan dengan tujuan utama (membeli rumah) tadi tidak diotak-atik. Misalnya, menaruh pos keuangan di reksadana pasar uang atau reksadana saham, dan lain sebagainya.
Annisa melanjutkan, dana darurat menjadi salah satu faktor yang tak kalah penting bagi mereka yang sedang berupaya untuk menabung demi tujuan yang hendak dicapai. Bahkan, katanya, dana darurat mesti diutamakan terlebih dahulu baru kemudian tabungan untuk membeli rumah.
Meski demikian, Annisa tidak menampik jika keduanya bisa berjalan beriringan.
“Jadi setiap bulan misalkan ditabung untuk dana darurat iya untuk tabungan rumah juga iya, enggak apa-apa, enggak masalah,” tambahnya.
Dengan perencanaan matang, cukup banyak Monik-Monik lainnya di luar sana yang masih bisa membeli rumah sembari menghidupi orang tua dan keluarganya masing-masing.
Di sisi lain, bagi generasi sandwich yang belum memiliki rumah, kisah Arfin dapat jadi inspirasi bahwa harapan itu akan selalu ada.
Bukankah hidup tanpa harapan berarti berhenti hidup?
Semoga ulasannya bermanfaat, Property People.
Baca informasi menarik dan terbaru di Google News Berita 99.co Indonesia.
Jangan lupa kunjungi 99.co/id dan rumah123.com untuk menemukan hunian idaman, karena kami selalu #AdaBuatKamu.
Salah satunya seperti Nuansa Alam Setiabudi Clove yang berada di kawasan Bandung.
***
Penulis Utama: Hendi Abdurahman
Editor: Mukhammad Iqbal
Penanggung Jawab: Elmi Rahmatika F. A.
Ketua Pelaksana: Alya Zulfikar
Tim penulis:
Artikel ini merupakan rangkaian liputan khusus Tim Berita 99.co Indonesia yang termuat dalam 99 Property Magazine Edisi 05: Memiliki Rumah bagi Generasi Sandwich: Impian yang Terimpit Realita.