Nama Chairil Anwar dikenang abadi bersama karya-karya puisinya yang menjadikannya salah satu sastrawan terbesar di Indonesia. Sudahkah kamu tahu apa saja puisi Chairil Anwar yang ditulis semasa hidupnya?
Berbicara soal dunia sastra Indonesia, tentu tak luput membahas nama-nama penyair besar yang karya puisinya dikenal abadi.
Salah satu di antara penyair besar Indonesia tersebut adalah Chairil Anwar, pria kelahiran Medan, 26 Juli 1922.
Chairil Anwar dikenal dengan julukan ‘Si Binatang Jalang’ yang dikutip dari karyanya berjudul “Aku”.
Semasa hidupnya, Chairil menulis banyak puisi dalam berbagai tema, mulai dari tentang kehidupan, percintaan, hingga perjuangan kemerdekaan.
Berikut ini beberapa karya puisi Chairil Anwar yang tak lekang oleh waktu!
- Kumpulan Puisi Chairil Anwar
- 1. “Aku”
- 2. “Doa”
- 3. “Karawang Bekasi”
- 4. “Sia-Sia”
- 5. “Sendiri”
- 6. “Tak Sepadan”
- 7. “Penghidupan”
- 8. “Nisan”
- 9. “Ajakan”
- 10. “Pelarian”
- 11. “Suara Malam”
- 12. “Hukum”
- 13. “Taman”
- 14. “Lagu Biasa”
- 15. “Kesabaran”
- 16. “Rumahku”
- 17. “Merdeka”
- 18. “Bercerai”
- 19. “Diponegoro”
- 20. “Dendam”
- 21. “Dengan Mirat”
- 22. “Derai-Derai Cemara”
- 23. “Isa”
- 24. “Sorga”
- 25. “Cerita”
- 26. “Perhitungan”
- 27. “Penerimaan”
- 28. “Dalam Kereta”
- 29. “Kita Guyah Lemah”
- 30. “Jangan Kita di Sini Berhenti”
Kumpulan Puisi Chairil Anwar
1. “Aku”
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi.
2. “Doa”
Kepada pemeluk teguh,
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut nama-Mu
Biar susah sungguh mengingat
Kau penuh seluruh
Cahaya-Mu panas suci
Tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
Aku hilang bentuk
Remuk
Tuhanku aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
Di pintu-Mu aku mengetuk
Aku tidak bisa berpaling.
3. “Karawang Bekasi”
Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan berdegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi.
4. “Sia-Sia”
Penghabisan kali itu kau datang
Membawaku karangan kembang
Mawar merah dan melati putih:
Darah dan suci
Kau tebarkan depanku
Serta pandang yang memastikan: Untukmu.
Sudah itu kita sama termangu
Saling bertanya: Apakah ini?
Cinta? Keduanya tak mengerti.
Sehari itu kita bersama. Tak hampir-menghampiri.
Ah! Hatiku yang tak mau memberi
Mampus kau dikoyak-koyak sepi.
5. “Sendiri”
Hidupnya tambah sepi, tambah hampa
Malam apa lagi
Ia memekik ngeri
Dicekik kesunyian kamarnya
Ia membenci. Dirinya dari segala
Yang minta perempuan untuk kawannya
Bahaya dari tiap sudut. Mendekat juga
Dalam ketakutan-menanti ia menyebut satu nama
Terkejut ia terduduk. Siapa memanggil itu?
Ah! Lemah lesu ia tersedu: Ibu! Ibu!
6. “Tak Sepadan”
Aku kira,
Beginilah nanti jadinya
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasvéros.
Dikutuk sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta
Tak satu juga pintu terbuka.
Jadi baik juga kita padami
Unggunan api ini
Karena kau tidak ‘kan apa apa
Aku terpanggang tinggal rangka.
7. “Penghidupan”
Lautan maha dalam
Mukul dentur selama
Nguji tenaga pematang kita
Mukul dentur selama
Hingga hancur remuk redam Kurnia Bahagia
Kecil setumpuk
Sia-sia dilindung, sia-sia dipupuk.
8. “Nisan”
Untuk nenekanda,
Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridhaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
dan duka maha tuan bertakhta.
9. “Ajakan”
Ida
Menembus sudah caya
Udara tebal kabut
Kaca hitam lumut
Pecah pencar sekarang
Di ruang lega lapang
Mari ria lagi
Tujuh belas tahun kembali
Bersepeda sama gandengan
Kita jalani ini jalan
Ria bahagia
Tak acuh apa-apa
Gembira girang
Biar hujan datang
Kita mandi-basahkan diri
Tahu pasti sebentar kering lagi.
10. “Pelarian”
I
Tak tertahan lagi
remang miang sengketa di sini
Dalam lari
Dihempaskannya pintu keras tak berhingga.
Hancur-luluh sepi seketika
Dan paduan dua jiwa.
II
Dari kelam ke malam
Tertawa-meringis malam menerimanya
Ini batu baru tercampung dalam gelita
“Mau apa? Rayu dan pelupa,
Aku ada! Pilih saja!
Bujuk dibeli?
Atau sungai sunyi?
Mari! Mari!
Turut saja!”
Tak kuasa — terengkam
Ia dicengkam malam.
11. “Suara Malam”
Dunia badai dan topan
Manusia mengingatkan “Kebakaran di Hutan”*
Jadi ke mana
Untuk damai dan reda?
Mati.
Barang kali ini diam kaku saja
Dengan ketenangan selama bersatu
Mengatasi suka dan duka
Kekebalan terhadap debu dan nafsu.
Berbaring tak sedar
Seperti kapal pecah di dasar lautan
Jemu dipukul ombak besar.
Atau ini.
Peleburan dalam Tiada
dan sekali akan menghadap cahaya.
Ya Allah! Badanku terbakar – segala samar.
Aku sudah melewati batas.
Kembali? Pintu tertutup dengan keras.
12. “Hukum”
Saban sore ia lalu depan rumahku
Dalam baju tebal abu-abu
Seorang jerih memikul.
Banyak menangkis pukul.
Bungkuk jalannya – Lesu
Pucat mukanya – Lesu
Orang menyebut satu nama jaya
Mengingat kerjanya dan jasa
Melecut supaya terus ini padanya
Tapi mereka memaling. Ia begitu kurang tenaga
Pekik di angkasa: Perwira muda
Pagi ini menyinar lain masa
Nanti, kau dinanti-dimengerti!
13. “Taman”
Taman punya kita berdua
Tak lebar luas, kecil saja
Satu tak kehilangan lain dalamnya.
Bagi kau dan aku cukuplah
Taman kembangnya tak berpuluh warna
Padang rumputnya tak berbanding permadani
Halus lembut dipijak kaki.
Bagi kita bukan halangan.
Karena
Dalam taman punya berdua
Kau kembang, aku kumbang
Aku kumbang, kau kembang.
Kecil, penuh surya taman kita
Tempat merenggut dari dunia dan ‘nusia.
14. “Lagu Biasa”
Di teras rumah makan kami kini berhadapan
Baru berkenalan. Cuma berpandangan
Sungguhpun samudra jiwa sudah selam berselam
Masih saja berpandangan
Dalam lakon pertama
Orkes meningkah dengan “Carmen” pula.
Ia mengerling. Ia ketawa
Dan rumput kering terus menyala
Ia berkata. Suaranya nyaring tinggi
Darahku terhenti berlari
Ketika orkes memulai “Ave Maria”
Kuseret ia ke sana.
15. “Kesabaran”
Aku tak bisa tidur
Orang ngomong, anjing nggonggong
Dunia jauh mengabur
Kelam mendinding batu
Dihantam suara bertalu-talu
Di sebelahnya api dan abu
Aku hendak berbicara
Suaraku hilang, tenaga terbang
Sudah! tidak jadi apa-apa!
Ini dunia enggan disapa, ambil perduli
Keras membeku air kali
Dan hidup bukan hidup lagi
Kuulangi yang dulu kembali
Sambil bertutup telinga, berpicing mata
Menunggu reda yang mesti tiba
16. “Rumahku”
Rumahku dari unggun-timbun sajak
Kaca jernih dari luar segala nampak
Kulari dari gedong lebar halaman
Aku tersesat tak dapat jalan
Kemah kudirikan ketika senjakala
Di pagi terbang entah ke mana
Rumahku dari unggun-timbun sajak
Di sini aku berbini dan beranak
Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang
Aku tidak lagi meraih petang
Biar berleleran kata manis madu
Jika menagih yang satu.
17. “Merdeka”
Pernah
Aku percaya pada sumpah dan cinta
Menjadi sumsum dan darah
Seharian kukunyah kumamah
Sedang meradang
Segala kurenggut
Ikut bayang
Tapi kini
Hidupku terlalu tenang
Selama tidak antara badai
Kalah menang
Ah! Jiwa yang menggapai-gapai
Mengapa kalau beranjak dari sini
Kucoba dalam mati.
18. “Bercerai”
Kita musti bercerai
Sebelum kicau murai berderai.
Terlalu kita minta pada malam ini
Benar belum puas serah-menyerah
Darah masih berbusah-busah.
Terlalu kita minta pada malam ini.
Kita musti bercerai
Biar surya ‘kan menembus oleh malam di perisai
Dua benua bakal bentur-membentur.
Merah kesumba jadi putih kapur.
Bagaimana?
Kalau IDA, mau turut mengabur
Tidak samudra caya tempatmu menghambur.
19. “Diponegoro”
Kepercayaan tanda menyerbu.
Sekali berarti
Sudah itu mati.
MAJU
Bagimu Negeri
Menyediakan api.
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditinda
Sungguhpun dalam ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai.
Maju.
Serbu.
Serang.
Terjang.
20. “Dendam”
Berdiri tersentak
Dari mimpi aku bengis dielak
Aku tegak
Bulan bersinar sedikit tak nampak
Tangan meraba ke bawah bantalku
Keris berkarat kugenggam di hulu
Bulan bersinar sedikit tak nampak
Aku mencari
Mendadak mati kuhendak berbekas di jari
Aku mencari
Diri tercerai dari hati
Bulan bersinar sedikit tak tampak
21. “Dengan Mirat”
Kamar ini jadi sarang penghabisan
Di malam yang hilang batas
Aku dan dia hanya menjengkau
Rakit hitam.
‘Kan terdamparkah
Atau terserah
Pada putaran pitam?
Matamu ungu membatu
Masih berdekapankah kami atau
Mengikut juga bayangan itu?
22. “Derai-Derai Cemara”
cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angina yang terpendam
aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah
23. “Isa”
Kepada nasrani sejati
Itu Tubuh
Mengucur darah
Mengucur darah
Rubuh
Patah
Mendampar tanya: aku salah?
Kulihat Tubuh mengucur darah
Aku berkaca dalam darah
Terbayang terang di mata
Masa bertukar rupa ini segara
Mengatup luka
Aku bersuka
Itu Tubuh
Mengucur darah
Mengucur darah
24. “Sorga”
Buat Basuki Resobowo
Seperti ibu + nenekku juga
Tambah tujuh keturunan yang lalu
Aku minta pula supaya sampai di sorga
Yang kata Masyumi + Muhammadiyah bersungai susu
Dan bertabur bidari beribu
Tapi ada suara menimbang dalam diriku,
Nekat mencemooh: Bisakah kiranya
Berkering dari kuyup laut biru,
Gamitan dari tiap pelabuhan gimana?
Lagi siapa bisa mengatakan pasti
Di situ memang memang ada bidari
Suaranya berat menelan seperti Nina, punya kerlingnya Jati?
25. “Cerita”
Kepada Darmawidjaya
Di pasar baru mereka
Lalu mengada-menggaya.
Mengikat sudah kesal
Tak tahu apa dibuat
Jiwa satu teman lucu
Dalam hidup, dalam tuju.
Gundul diselimuti tebal
Sama segala berbuat-buat.
Tapi kadang pula dapat
Ini renggang terus terapat.
26. “Perhitungan”
Banyak gores belum terputus saja
Satu rumah kecil putih dengan lampu merah muda caya
Langit bersih cerah dan purnama raya…
Sudah itu tempatku tak tentu di mana.
Sekilap pandangan serupa dua klewang bergeseran
Sudah itu berlepasan dengan sedikit heran
Hembus kau aku tak perduli, ke Bandung, ke Sukabumi…!?
Kini aku meringkih dalam malam sunyi.
27. “Penerimaan”
Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati
Aku masih tetap sendiri
Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi
Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani
Kalau kau mau kuterima kau kembali
Untukku sendiri tapi
Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.
28. “Dalam Kereta”
Dalam kereta.
Hujan menebal jendela
Semarang, Solo…, makin dekat saja
Menangkup senja.
Menguak purnama.
Caya menyayat mulut dan mata.
Menjengking kereta. Menjengking jiwa,
Sayatan terus ke dada.
29. “Kita Guyah Lemah”
Kita guyah lemah
Sekali tetak tentu rebah
Segala erang dan jeritan
Kita pendam dalam keseharian
Mari tegak merentak
Diri sekeliling kita bentak
Ini malam purnama akan menembus awan.
30. “Jangan Kita di Sini Berhenti”
Jangan kita di sini berhenti
Tuaknya tua, sedikit pula
Sedang kita mau berkendi-kendi
Terus, terus dulu…!!
Ke ruang di mana botol tuak banyak berbaris
Pelayannya kita dilayani gadis-gadis
O, bibir merah, selokan mati pertama
O, hidup, kau masih ketawa??
***
Itulah kumpulan puisi Chairil Anwar yang sarat makna.
Baca artikel informatif lainnya di www.99updates.id.
Ikuti Berita 99.co di Google News agar tidak ketinggalan informasi.
Sedang mencari hunian? Dapatkan rekomendasinya di www.99.co/id.
Menemukan hunian kini jadi #SegampangItu!
**Referensi:
- Anwar, Chairil. (2023). Antologi Puisi Chairil Anwar: Mampus Kau Dikoyak-koyak Sepi
**Cover: tempo.co