Bahasa Pendidikan

30 Puisi Chairil Anwar yang Paling Populer, Maknanya Sangat Dalam!

6 menit

Nama Chairil Anwar dikenang abadi bersama karya-karya puisinya yang menjadikannya salah satu sastrawan terbesar di Indonesia. Sudahkah kamu tahu apa saja puisi Chairil Anwar yang ditulis semasa hidupnya?

Berbicara soal dunia sastra Indonesia, tentu tak luput membahas nama-nama penyair besar yang karya puisinya dikenal abadi.

Salah satu di antara penyair besar Indonesia tersebut adalah Chairil Anwar, pria kelahiran Medan, 26 Juli 1922.

Chairil Anwar dikenal dengan julukan ‘Si Binatang Jalang’ yang dikutip dari karyanya berjudul “Aku”.

Semasa hidupnya, Chairil menulis banyak puisi dalam berbagai tema, mulai dari tentang kehidupan, percintaan, hingga perjuangan kemerdekaan.

Berikut ini beberapa karya puisi Chairil Anwar yang tak lekang oleh waktu!

Kumpulan Puisi Chairil Anwar

1. “Aku”

puisi aku karya chairil anwar

Puisi Chairil Anwar – “Aku”

Kalau sampai waktuku

‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu

Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang

Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku

Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari

Berlari

Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak peduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi.

2. “Doa”

Kepada pemeluk teguh,

Tuhanku

Dalam termangu

Aku masih menyebut nama-Mu

Biar susah sungguh mengingat

Kau penuh seluruh

Cahaya-Mu panas suci

Tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku

Aku hilang bentuk

Remuk

Tuhanku aku mengembara di negeri asing

Tuhanku

Di pintu-Mu aku mengetuk

Aku tidak bisa berpaling.

3. “Karawang Bekasi”

puisi karawang bekasi chairil anwar

puisi karawang bekasi chairil anwar

Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi

tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.

Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,

terbayang kami maju dan berdegap hati?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi

Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.

Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa

Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan

Tapi adalah kepunyaanmu

Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan atau tidak untuk apa-apa,

Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata

Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi

Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami

Teruskan, teruskan jiwa kami

Menjaga Bung Karno

Menjaga Bung Hatta

Menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat

Berikan kami arti

Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami

Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu

Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi.

4. “Sia-Sia”

Penghabisan kali itu kau datang

Membawaku karangan kembang

Mawar merah dan melati putih:

Darah dan suci

Kau tebarkan depanku

Serta pandang yang memastikan: Untukmu.

Sudah itu kita sama termangu

Saling bertanya: Apakah ini?

Cinta? Keduanya tak mengerti.

Sehari itu kita bersama. Tak hampir-menghampiri.

Ah! Hatiku yang tak mau memberi

Mampus kau dikoyak-koyak sepi.

5. “Sendiri”

Hidupnya tambah sepi, tambah hampa

Malam apa lagi

Ia memekik ngeri

Dicekik kesunyian kamarnya

Ia membenci. Dirinya dari segala

Yang minta perempuan untuk kawannya

Bahaya dari tiap sudut. Mendekat juga

Dalam ketakutan-menanti ia menyebut satu nama

Terkejut ia terduduk. Siapa memanggil itu?

Ah! Lemah lesu ia tersedu: Ibu! Ibu!

6. “Tak Sepadan”

Aku kira,

Beginilah nanti jadinya

Kau kawin, beranak dan berbahagia

Sedang aku mengembara serupa Ahasvéros.

Dikutuk sumpahi Eros

Aku merangkaki dinding buta

Tak satu juga pintu terbuka.

Jadi baik juga kita padami

Unggunan api ini

Karena kau tidak ‘kan apa apa

Aku terpanggang tinggal rangka.

7. “Penghidupan”

Lautan maha dalam

Mukul dentur selama

Nguji tenaga pematang kita

Mukul dentur selama

Hingga hancur remuk redam Kurnia Bahagia

Kecil setumpuk

Sia-sia dilindung, sia-sia dipupuk.

8. “Nisan”

Untuk nenekanda,

Bukan kematian benar menusuk kalbu

Keridhaanmu menerima segala tiba

Tak kutahu setinggi itu atas debu

dan duka maha tuan bertakhta.

9. “Ajakan”

Ida

Menembus sudah caya

Udara tebal kabut

Kaca hitam lumut

Pecah pencar sekarang

Di ruang lega lapang

Mari ria lagi

Tujuh belas tahun kembali

Bersepeda sama gandengan

Kita jalani ini jalan

Ria bahagia

Tak acuh apa-apa

Gembira girang

Biar hujan datang

Kita mandi-basahkan diri

Tahu pasti sebentar kering lagi.

10. “Pelarian”

puisi pelarian chairil anwar

puisi pelarian chairil anwar

I

 

Tak tertahan lagi

remang miang sengketa di sini

Dalam lari

Dihempaskannya pintu keras tak berhingga.

Hancur-luluh sepi seketika

Dan paduan dua jiwa.

 

II

 

Dari kelam ke malam

Tertawa-meringis malam menerimanya

Ini batu baru tercampung dalam gelita

“Mau apa? Rayu dan pelupa,

Aku ada! Pilih saja!

Bujuk dibeli?

Atau sungai sunyi?

Mari! Mari!

Turut saja!”

Tak kuasa terengkam

Ia dicengkam malam.

11. “Suara Malam”

Dunia badai dan topan

Manusia mengingatkan “Kebakaran di Hutan”*

Jadi ke mana

Untuk damai dan reda?



Mati.

Barang kali ini diam kaku saja

Dengan ketenangan selama bersatu

Mengatasi suka dan duka

Kekebalan terhadap debu dan nafsu.

Berbaring tak sedar

Seperti kapal pecah di dasar lautan

Jemu dipukul ombak besar.

Atau ini.

Peleburan dalam Tiada

dan sekali akan menghadap cahaya.

Ya Allah! Badanku terbakar – segala samar.

Aku sudah melewati batas.

Kembali? Pintu tertutup dengan keras.

12. “Hukum”

Saban sore ia lalu depan rumahku

Dalam baju tebal abu-abu

Seorang jerih memikul.

Banyak menangkis pukul.

Bungkuk jalannya – Lesu

Pucat mukanya – Lesu

Orang menyebut satu nama jaya

Mengingat kerjanya dan jasa

Melecut supaya terus ini padanya

Tapi mereka memaling. Ia begitu kurang tenaga

Pekik di angkasa: Perwira muda

Pagi ini menyinar lain masa

Nanti, kau dinanti-dimengerti!

13. “Taman”

Taman punya kita berdua

Tak lebar luas, kecil saja

Satu tak kehilangan lain dalamnya.

Bagi kau dan aku cukuplah

Taman kembangnya tak berpuluh warna

Padang rumputnya tak berbanding permadani

Halus lembut dipijak kaki.

Bagi kita bukan halangan.

Karena

Dalam taman punya berdua

Kau kembang, aku kumbang

Aku kumbang, kau kembang.

Kecil, penuh surya taman kita

Tempat merenggut dari dunia dan ‘nusia.

14. “Lagu Biasa”

puisi lagu biasa chairil anwar

puisi lagu biasa chairil anwar

Di teras rumah makan kami kini berhadapan

Baru berkenalan. Cuma berpandangan

Sungguhpun samudra jiwa sudah selam berselam

Masih saja berpandangan

Dalam lakon pertama

Orkes meningkah dengan “Carmen” pula.

Ia mengerling. Ia ketawa

Dan rumput kering terus menyala

Ia berkata. Suaranya nyaring tinggi

Darahku terhenti berlari

Ketika orkes memulai “Ave Maria”

Kuseret ia ke sana.

15. “Kesabaran”

Aku tak bisa tidur

Orang ngomong, anjing nggonggong

Dunia jauh mengabur

Kelam mendinding batu

Dihantam suara bertalu-talu

Di sebelahnya api dan abu

Aku hendak berbicara

Suaraku hilang, tenaga terbang

Sudah! tidak jadi apa-apa!

Ini dunia enggan disapa, ambil perduli

Keras membeku air kali

Dan hidup bukan hidup lagi

Kuulangi yang dulu kembali

Sambil bertutup telinga, berpicing mata

Menunggu reda yang mesti tiba

16. “Rumahku”

Rumahku dari unggun-timbun sajak

Kaca jernih dari luar segala nampak

Kulari dari gedong lebar halaman

Aku tersesat tak dapat jalan

Kemah kudirikan ketika senjakala

Di pagi terbang entah ke mana

Rumahku dari unggun-timbun sajak

Di sini aku berbini dan beranak

Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang

Aku tidak lagi meraih petang

Biar berleleran kata manis madu

Jika menagih yang satu.

17. “Merdeka”

puisi merdeka chairil anwar

puisi merdeka chairil anwar

Pernah

Aku percaya pada sumpah dan cinta

Menjadi sumsum dan darah

Seharian kukunyah kumamah

Sedang meradang

Segala kurenggut

Ikut bayang

Tapi kini

Hidupku terlalu tenang

Selama tidak antara badai

Kalah menang

Ah! Jiwa yang menggapai-gapai

Mengapa kalau beranjak dari sini

Kucoba dalam mati.

18. “Bercerai”

Kita musti bercerai

Sebelum kicau murai berderai.

Terlalu kita minta pada malam ini

Benar belum puas serah-menyerah

Darah masih berbusah-busah.

Terlalu kita minta pada malam ini.

Kita musti bercerai

Biar surya ‘kan menembus oleh malam di perisai

Dua benua bakal bentur-membentur.

Merah kesumba jadi putih kapur.

Bagaimana?

Kalau IDA, mau turut mengabur

Tidak samudra caya tempatmu menghambur.

19. “Diponegoro”

puisi diponegoro chairil anwar

puisi diponegoro chairil anwar

Kepercayaan tanda menyerbu.

Sekali berarti

Sudah itu mati.

MAJU

Bagimu Negeri

Menyediakan api.

Punah di atas menghamba

Binasa di atas ditinda

Sungguhpun dalam ajal baru tercapai

Jika hidup harus merasai.

Maju.

Serbu.

Serang.

Terjang.

20. “Dendam”

Berdiri tersentak

Dari mimpi aku bengis dielak

Aku tegak

Bulan bersinar sedikit tak nampak

Tangan meraba ke bawah bantalku

Keris berkarat kugenggam di hulu

Bulan bersinar sedikit tak nampak

Aku mencari

Mendadak mati kuhendak berbekas di jari

Aku mencari

Diri tercerai dari hati

Bulan bersinar sedikit tak tampak

21. “Dengan Mirat”

Kamar ini jadi sarang penghabisan

Di malam yang hilang batas

Aku dan dia hanya menjengkau

Rakit hitam.

‘Kan terdamparkah

Atau terserah

Pada putaran pitam?

Matamu ungu membatu

Masih berdekapankah kami atau

Mengikut juga bayangan itu?

22. “Derai-Derai Cemara”

cemara menderai sampai jauh

terasa hari akan jadi malam

ada beberapa dahan di tingkap merapuh

dipukul angina yang terpendam

 

aku sekarang orangnya bisa tahan

sudah berapa waktu bukan kanak lagi

tapi dulu memang ada suatu bahan

yang bukan dasar perhitungan kini

 

hidup hanya menunda kekalahan

tambah terasing dari cinta sekolah rendah

dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan

sebelum pada akhirnya kita menyerah

23. “Isa”

Kepada nasrani sejati

Itu Tubuh

Mengucur darah

Mengucur darah

Rubuh

Patah

Mendampar tanya: aku salah?

Kulihat Tubuh mengucur darah

Aku berkaca dalam darah

Terbayang terang di mata

Masa bertukar rupa ini segara

Mengatup luka

Aku bersuka

Itu Tubuh

Mengucur darah

Mengucur darah

24. “Sorga”

Buat Basuki Resobowo

Seperti ibu + nenekku juga

Tambah tujuh keturunan yang lalu

Aku minta pula supaya sampai di sorga

Yang kata Masyumi + Muhammadiyah bersungai susu

Dan bertabur bidari beribu

Tapi ada suara menimbang dalam diriku,

Nekat mencemooh: Bisakah kiranya

Berkering dari kuyup laut biru,

Gamitan dari tiap pelabuhan gimana?

Lagi siapa bisa mengatakan pasti

Di situ memang memang ada bidari

Suaranya berat menelan seperti Nina, punya kerlingnya Jati?

25. “Cerita”

Kepada Darmawidjaya

Di pasar baru mereka

Lalu mengada-menggaya.

Mengikat sudah kesal

Tak tahu apa dibuat

Jiwa satu teman lucu

Dalam hidup, dalam tuju.

Gundul diselimuti tebal

Sama segala berbuat-buat.

Tapi kadang pula dapat

Ini renggang terus terapat.

26. “Perhitungan”

Banyak gores belum terputus saja

Satu rumah kecil putih dengan lampu merah muda caya

Langit bersih cerah dan purnama raya…

Sudah itu tempatku tak tentu di mana.

Sekilap pandangan serupa dua klewang bergeseran

Sudah itu berlepasan dengan sedikit heran

Hembus kau aku tak perduli, ke Bandung, ke Sukabumi…!?

Kini aku meringkih dalam malam sunyi.

27. “Penerimaan”

Kalau kau mau kuterima kau kembali

Dengan sepenuh hati

Aku masih tetap sendiri

Kutahu kau bukan yang dulu lagi

Bak kembang sari sudah terbagi

Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani

Kalau kau mau kuterima kau kembali

Untukku sendiri tapi

Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.

28. “Dalam Kereta”

Dalam kereta.

Hujan menebal jendela

Semarang, Solo…, makin dekat saja

Menangkup senja.

Menguak purnama.

Caya menyayat mulut dan mata.

Menjengking kereta. Menjengking jiwa,

Sayatan terus ke dada.

29. “Kita Guyah Lemah”

Kita guyah lemah

Sekali tetak tentu rebah

Segala erang dan jeritan

Kita pendam dalam keseharian

Mari tegak merentak

Diri sekeliling kita bentak

Ini malam purnama akan menembus awan.

30. “Jangan Kita di Sini Berhenti”

Jangan kita di sini berhenti

Tuaknya tua, sedikit pula

Sedang kita mau berkendi-kendi

Terus, terus dulu…!!

Ke ruang di mana botol tuak banyak berbaris

Pelayannya kita dilayani gadis-gadis

O, bibir merah, selokan mati pertama

O, hidup, kau masih ketawa??

***

Itulah kumpulan puisi Chairil Anwar yang sarat makna.

Baca artikel informatif lainnya di www.99updates.id.

Ikuti Berita 99.co di Google News agar tidak ketinggalan informasi.

Sedang mencari hunian? Dapatkan rekomendasinya di www.99.co/id.

Menemukan hunian kini jadi #SegampangItu!

**Referensi:

  • Anwar, Chairil.  (2023). Antologi Puisi Chairil Anwar: Mampus Kau Dikoyak-koyak Sepi

**Cover: tempo.co



Alya Zulfikar

Berkarier di dunia kepenulisan sejak 2018 sebagai penulis lepas. Kini menjadi penulis di 99 Group dengan fokus seputar gaya hidup, properti, hingga teknologi. Gemar menulis puisi, memanah, dan mendaki gunung.
Follow Me:

Related Posts