Dalam surat yang dikirimkan kepada salah seorang sahabat penanya, Kartini pernah mengaku sebagai anak Buddha dan tidak makan daging. Lantas, apa sebenarnya agama Kartini?
Raden Ajeng (RA) Kartini adalah seorang tokoh Jawa yang juga merupakan seorang Pahlawan Nasional Indonesia.
Untuk mengenang perjuangannya dalam emansipasi perempuan, hari kelahirannya yakni 21 April 1987 diperingati sebagai Hari Kartini.
Penetapan Hari Kartini dilakukan saat pemerintahan Presiden Pertama Indonesia, Soekarno melalui Keputusan Presiden Republik Indoensia Nomor 108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964.
Semasa hidupnya, Kartini diketahui kerap bertukar surat kepada sejumlah sahabatnya yang berada di luar negeri.
Dalam salah satu suratnya kepada Rosa Abendanon-Mandri, Kartini mengaku sebagai anak Buddha.
Melihat hal itu, banyak orang yang menilai kalau agama Kartini adalah Buddha.
Lantas, apakah sebenarnya agama dari tokoh wanita asal Jawa ini?
Untuk menjawab rasa penasaranmu, temukan jawabannya di bawah ini!
Menebak Agama Kartini
Mengaku sebagai Anak Buddha
Saat masih kecil, RA Kartini sempat sakit keras, badannya terus mengigigil.
Ayahnya, Raden Mas (R.M) Adipati Ario Sosroningrat, yang merupakan Bupati Jepara, panik.
Sejumlah dokter yang didatangkan untuk mengobati Kartini tak kunjung membuahkan hasil.
Sampai kemudian datanglah orang China yang sedang dihukum pemerintah Hindia Belanda ke rumah Kartini.
Orang Cina tersebut sebelumnya memang sudah dikenal oleh anak-anak R.M Adipati Ario Sosroningrat.
Dia menawarkan bantuan dan berhasil mengobati Kartini dengan memberikan air yang dicampur abu lidi shio dari sebuah kelenteng di Welahan, kecamatan di Jepara.
Kartini merasa kagum, dan ia beranggapan, apa yang tidak berhasil dengan obat-obatan kaum terpelajar berhasil dengan obat tradisional.
Kemudian Kartini pun mengaku sebagai anak Buddha.
Hal ini dia tuangkan dalam sebuah suratnya kepada Rosa Abendanon-Mandri.
Rosa Abendanon-Mandri adalah sahabat penanya yang juga istri dari seorang Direktur Departemen Pendidikan, Agama, dan Industri Hindia Belanda, Jacques Henrij Abendanon.
Berikut adalah isi surat tersebut yang dikutip dalam buku Surat-Surat Kartini oleh Sulastin Sutrisno.
“Ketahuilah nyonya, bahwa saya anak Buddha dan itu sudah jadi alasan untuk pantang makan daging,” demikian bunyi pengakuan Kartini dalam suratnya kepada Rosa Abendanon.
Kesulitan Mempelajari Al-Qur’an
Kartini hidup di lingkungan keluarga bangsawan dengan nilai-nilai budaya Islam Jawa.
Dia tumbuh menjadi perempuan yang cerdas dan kritis.
Kartini muda juga mengalami pergulatan batin mengenai sejumlah aturan-aturan yang menurutnya tidak masuk akal.
Penolakan itu disampaikannya melalui surat-suratnya yang disampaikan kepada temannya di Belanda.
Selain itu Kartini juga tumbuh sebagai wanita dengan rasa ingin tahu yang tinggi.
Seperti halnya ketika dirinya belajar kitab suci Al-Qur’an yang saat itu hanya menggunakan bahasa Arab tanpa ada terjemahannya.
Karena itu tak semua masyarakat paham akan makna ayat di dalam Al-Quran.
Dilansir dari laman Liputan6.com, Dosen Sejarah Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Johan Wahyudhi, memberikan penjelasannya.
Menurut pengamatannya pada saat abad ke-19 Al-Quran belum boleh diterjemahkan baik ke dalam bahasa Jawa ataupun Melayu.
“Jadi satu sisi R.A. Kartini merasa bahwa dia ingin mendalami ajaran Islam, ingin menjadi muslimah yang sejati. Tapi di sisi lain, dia mengalami keterbatasan akses karena memang pendidikan bahasa Arab yang tidak merata di seluruh bangsawan Jawa,” kata Johan.
Pergolakan itu disampaikan oleh Kartini kepada sahabatnya Abendanon pada 15 Agustus 1902, seperti yang dikutip dalam buku Surat-Surat Kartini oleh Sulastin Sutrisno.
Kartini menyebut dirinya tidak mau lagi mempelajari Al-Qur’an.
“Dan ketika itu saya tidak suka lagi berbuat hal-hal yang tidak saya pahami sedikitpun. Saya tidak mau lagi berbuat sesuatu tanpa berpikir, tanpa mengetahui apa sebabnya, apa perlunya, apa maksudnya. Saya tidak mau lagi belajar membaca Al-Qur’an, belajar menghafalkan amsal dalam bahasa asing yang tidak saya ketahui artinya,” tulis Kartini dalam suratnya.
Saat itu Kartini juga menduga gurunya juga tidak mengerti arti dari kitab suci tersebut.
Pemikiran Kartini yang Terbuka dengan Agama Lain
Melansir laman acehtrend.com, Sejarawan JJ Rizal menyebutkan surat Kartini tersebut menunjukkan keterbukaan pemikirannya mengenai agama-agama yang ada di sekitarnya.
Kartini tidak membatasi dirinya sebagai seorang yang lahir dari keluarga beragama Islam dan ningrat, tetapi ia menerima kepercayaan yang ada di sekitarnya.
“Ia seorang muslim, terkesan dengan Buddha, dan bergaul dengan orang Kristen, makannya pemikirannya terbiasa dengan perbedaan dan terbuka,” ungkap JJ Rizal.
Dalam surat tertanggal 27 Oktober 1902 itu Kartini juga menjelasakan sikap vegetariannya bermula saat ia berusia 14-15 tahun.
Namun, ia tidak memiliki keberanian mengumumkan sikap ini hingga beberapa lama sebelum menulis surat ia memberitahu ibunya dan ditanggapi dengan gembira.
Apa Sebenarnya Agama Kartini?
Meski dinilai terbuka dengan agama lain, sejumlah pengamat sejarah menilai agama Kartini adalah Islam.
Pasalnya, sejumlah pergolakan batin Kartini akhirnya terjawab ketika ia bertemu dengan seorang ulama bernama Kiai Sholeh Darat.
Johan menyebut dari sejumlah buku biografi yang dibacanya, Kartini mendalami agama Islam dari ulama tersebut.
***
Itulah penjelasan mengenai agama Kartini.
Semoga informasi ini dapat menjawab rasa penasaran Sahabat 99!
Simak juga artikel menarik lainnya di Berita 99.co Indonesia.
Sedang mencari hunian impian di Kota Bandung?
Temukan beragam pilihan perumahan seperti di Cluster Griya Sakinah hanya di 99.co/id dan Rumah123.com, karena kami memang #AdaBuatKamu.